Selasa, 19 Juli 2011

2x2 Eyes

Tak terasa pria itu menghela nafas panjang. Buku di tangannya, buku kenangan reuni sekolah yang baru diterimanya siang tadi, dibiarkannya terjatuh di pangkuannya. Kembali dia menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke bangku di stasiun kereta itu. Matanya menatap jauh seolah berusaha menembus jarak ruang dan waktu, sebuah kenangan lama menyeruak di kedalaman hatinya. Sepasang mata milik seraut wajah di sebuah foto dalam buku di pangkuannya tersebut telah menyelinap ke dalam relung sanubari, membuka sejuta kenangan yang telah lama dilupakannya.

Wajah itu, ya wajah itu, wajah yang sangat dikenalnya, wajah cantik rupawan seperti yang dulu dikenalnya. Dan matanya, ah, matanya yang bening kecoklatan masih benar diingatnya seolah baru kemarin lusa. Bagaimana si pemilik mata tersebut pernah dibuatnya tersipu kemerahan ketika dia dulu memuji keindahan mata tersebut. Ah, masa itu, entah berapa lama yang lalu kenangnya. Entah dimana pemilik sepasang mata itu kini, sepasang mata dingin tak terdekati kala itu. Hanya dirinyalah yang ketika itu mampu menyalakan mentari di mata itu, sepasang mata indah itu. Ah, pria itu tersenyum sendiri ketika semilir angin dingin sore itu menerpa wajahnya, menepis kenangannya dan mengembalikan dirinya ke bangku di stasiun itu.

Sayup didengarnya suara dari pengeras suara yang membuatnya terjaga dan sontak melihat arlojinya, pukul 18.15. Pria itu mengernyit, ah, tak mungkin keretanya sudah tiba, keretanya baru akan tiba paling cepat 15 menit lagi, kalaupun tak terlambat, pikirnya. Entah pengumuman apa tadi, pria tersebut menggumam, mengangkat bahu. Namun tak urung dirinya melipat buku di pangkuannya dan memasukkannya ke tas punggung yang selalu setia menemaninya. Perlahan pria tersebut bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah tepi rel kereta api.

Pria tersebut melemparkan pandangan ke sekelilingnya yang dipenuhi oleh berbagai orang dengan berbagai kesibukan dan tingkah lakunya. Pemandangan yang sudah biasa pikirnya, kepadatan yang biasa di jam-jam tersebut. Seorang anak kecil berambut sedikit pirang dan berkulit halus kekuningan menarik perhatiannya. Tak biasanya melihat seorang anak kecil seperti itu di stasiun kereta ini, pikirnya. Anak tersebut tampak sibuk memainkan sesuatu di genggaman kedua tangannya, acuh dengan suasana di sekelilingnya. Tehnologi, pria itu tersenyum simpul, pemandangan biasa, rasanya sekarang semua anak memiliki permainan seperti itu, lain dengan masa kecilnya dulu. Entah permainan apa yang dimainkannya, namun anak tersebut tampak seru sekali memainkannya.

Telepon genggam di kantungnya bergetar, mengalihkan perhatiannya dari anak tersebut. Sontak tangannya bergerak meraba kantung celananya. Niatnya untuk mengangkat telepon tersebut diurungkannya ketika mendengar peluit kereta berteriak kencang. Percuma, pikirnya, kalaupun dia mengangkat telepon tersebut dia tak akan bisa berbicara ataupun mendengar penelponnya. Belum sempat dia menuntaskan pikirannya, tiba-tiba pria tersebut dikejutkan teriakan orang banyak. Matanya segera mencari sumber teriakan orang-orang tersebut, ketika sesosok bayangan kecil dilihatnya berada di lintasan kereta tak jauh di hadapannya.

Sesosok anak kecil, ya, anak kecil beramput kepirangan tadi telah berada di lintasan kereta tersebut tergeletak tak berdaya. Lengkingan peluit kereta semakin memekakkan telinga bercampur baur dengan teriakan orang di sekelilingya. Mata itu, pria tersebut tertegun sejenak, sebelum sontak dirinya melemparkan tas di bahunya dan melompat ke arah anak tersebut. Ah, celaka, pria tersebut membatin terkejut dengan tindakannya sendiri.

Mata itu, ya mata itu yang membuat dirinya melakukan apa yang dilakukannya tanpa berpikir. Sepasang mata bening anak tersebut telah mampu menembus pikiran dan sanubarinya ketika itu. Diraihnya anak tersebut, teriakan dan lengkingan kereta yang memekakkan telinga menghilang dari telinganya, hanya keheningan, dan lagi-lagi mata itu.

Mata pria tersebut menggapai mencari, dan tanpa berpikir dilemparkannya anak tadi ke sekian pasang tangan yang terulur di tepi stasiun tersebut. Dalam sekejap tersebut, dia menemukan sepasang mata lainnya, sepasang mata bening kecoklatan yang sangat dikenalnya. Kedua pasang mata mereka bertaut dalam sekejap yang berasa bagai keabadian itu. Ya, sepasang mata itu, kembali ke dalam tatapannya di stasiun kereta tersebut, dalam sekejap keabadian itu.

Pukul 18.18, ketika lengkingan peluit kereta dan derit gesekan roda besi dengan relnya mengoyak keabadian itu ..


*** ***
Jakarta, 18 Juli 2011